Karl Popper mengkritisi positivisme logis dengan mempertanyakan
demarkasi atau batasan antara ilmu pengetahuan dan non ilmu pengetahuan
dimana demarasi positivistis adalah hasil verifikasi atas dasar induksi.
Karl Popper adalah salah satu tokoh yang mengkritik konsepsi induksi.
Metode Induksi yang diterapkan dalam ilmu pengetahuan mengandung
permasalahan yang membenarkan bahwa induksi tidak luput dari
kritik-kritik. Kritik Popper terhadap induktivisme telah membuka
perspektif baru bagi ilmu pengetahuan, yang jauh berbeda dari perspektif
yang didasarkan pada induktivisme. Popper memperkenalkan apa yang
disebutnya falsifikasi. Falsifikasi menjadi alternatif dari
induktivisme. Menurut Popper, titik permasalahan sentral dari filsafat
ilmu adalah demarkasi antara ungkapan yang ilmiah dan tidak ilmiah.
Problem demarkasi dirumuskan oleh Popper sebagai problem mengenai
bagaimana menemukan sebuah kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu
empiris dari matematika, logika dan system-sistem metafisik. Popper
merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan non ilmu
(metafisika). Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah
kriteria falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau
disangkal). Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung kemampuan
disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara
deduktif dan terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris. Contoh:
Akan terjadi atau tidak terjadi hujan di sini esok
Akan terjadi hujan di sini esok
Pernyataan (1) tidak bersifat empiris oleh karena tidak dapat
disangkal. Sedangkan pernyataan (2) bersifat empiris karena dapat
disangkal. Kriteria demarkasi Popper didasarkan pada suatu asimetri
logis antara verifiabilitas dan falsifiabilitas. Pernyataan universal
tidak bersumber dari pernyataan tunggal, tetapi sebaliknya bisa
bertentangan dengannya. Dengan logia deduktif, maka generalisasi empiris
atau pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara empiris,
tetapi tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti bahwa hukum-hukum ilmiah
pada dasarnya dapat diuji, kendatipun tidak dapat dibenarkan atau
dibuktikan secara induktif. Dengan ini Popper mengakui kemunginan
metafisika yang disangkal oleh positivisme. Dan Tuhan yang bukan bagian
dari dunia empiris, maka ada tidaknya Tuhan tidak dapat difalsifikasi
dengan pengamatan empiris. Pernyataan-pernyataan metafisik, menurut
Popper dapat difalsifikasikan, yaitu dengan perkataan metafisik lain
sebagaimana pernyataan-pernyataan empirik dapat dibantah oleh
pengalaman.
Beberapa kritik yang dikemukakan Popper terhadap prinsip verifikasi:
Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan
kebenaran hukum-hukum umum. Menurut Popper, hukum-hukum umum dan ilmu
pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu
pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum)
tidak bermakna, sama seperti metafisika; Kedua, sejarah membuktikan
bahwa ilmu pengetahuan juga lahir dari pandangan-pandangan metafisis.
Karena itu Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja
dapat bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah
setelah diuji; Ketiga, untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu
ucapan atau teori, lebih dulu harus kita mengerti ucapan atau teori itu.
Kriteria verifiabilitas bukanlah suatu kriteria demarkasi ilmu,
melainkan sebagai kriteria kemaknaannya. Bermakna tidaknya suatu
pernyataan atau hipotesis ilmiah ditentukan oleh corak empiris
positifnya. Logika induktif dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan
pengetahuan yang bukan ilmiah (metafisika) tidak bermakna sama sekali.
Kriteria demarkasi dan logika induktif mengakibatkan terjadinya
percampurbauran antara metafisika dan ilmu pengetahuan, yang pada
gilirannya dapat mengaburkan kedua-duanya. Hal inilah yang membuat Karl
Popper menolak posttifisme dan membuat demarkasi lain dengan kriteria
falsifikasi.
Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak
metode verifikasi induktif, dan menggantinya dnegan metode verivikasi
deduktif, karena dalam rangka membedakan ilmu yang bermakna dan tidak
bermakna masih menjunjung tinggi induksi. Dalam konteks penolakan
terhadap induktivisme para pendukung teori falsifikasi menyatakan bahwa
setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang
mendahuluinya. Karena itu, semua keyakinan bahwa kebenaran teori-teori
ilmiah dicapai melalui kepastian hasil observasi, sungguh-sungguh
ditolak. Teori merupakan hasil rekayasa intelek manusia yang kreatif dan
bebas untuk mengatasi problem-problem yang dihadapinya dalam kehidupan
sehari-hari. Teori-teori itu kemudian diuji dengan eksperimen-eksperimen
atau observasi-observasi. Terori yang tidak dapat bertahan terhadap
suatu eksperimen harus dinyatakan gagal dan digantikan oleh teori
spekulatif lain. Itu berarti, ilmu pengetahuan berkembang melalui
kesalahan dan kekeliruan, melalui hipotesis dan refutasi.
Menurut teori falsifikasi, ada teori yang dapat dibuktikan salah
berdasarkan hasil observasi dan eksperimen. Ilmu pengetahuan tidak lain
dari rangkaian hipotesis-hipotesis yang dikemukakan secara tentatif
untuk menjelaskan tingkah laku manusia atau kenyataan dalam alam
semesta. Tetapi tidak setiap hipotesis dapat begitu saja
diklasifikasikan di bawah ilmu pengetahuan. Hipotesis yang layak disebut
sebagai teori atau hukum ilmiah harus memenuhi syarat fundamental
berikut: hipotesis itu harus terbuka terhadap kemungkinan falsifikasi.
Contoh:
1. Tidak pernah turun hujan pada hari-hari Rabu
2. Semua substansi akan memuai jika dipanaskan
Pernyataan (1) dapat difalsifikasikan karena dengan suatu observasi
kita dapat menunjukkan bahwa pada hari Rabu tertentu ada hujan.
Pernyataan (2) pun dapat difalsifikasi karena melalui observasi kita
dapat memperlihatkan bahwa ada substansi tertentu tidak memuai jika
dipanaskan. Pernyataan berikut ini tidak memenuhi syarat yang
dikemukakan oleh Popper dan konsekuensinya tidak dapat difalsifikasikan;
1. Baik pada hari hujan maupun tidak hujan saya datang
Tidak ada suatu pernyataan observasi yang secara logis dapat
menyangkal pernyataan (1). Pernyataan ini benar, bagaimanapun keadaan
cuaca. Pernyataan di atas ini tidak dapat difalsifikasikan, sebab semua
kemungkinan yang akan terjadi atau diturunkan dari pernyataan di atas,
tetap benar.
Metode induktif harus digantikan dengan metode deduktif yang menitik
beratkan pada logika pengetahuan. Dengan cara pandang semacam itu, maka
Popper menegaskan bahwa suatu teori ilmiah tidak pernah benar secara
definitive. Hal ini menurutnya dapat dilihat dalam dialektika
perkembangan ilmu-ilmu fisika. Fisika Newton yang telah dianggap begitu
kokoh ternyata di kemudian hari dapat digantikan oleh fisiksa Einstein.
Para ilmuwan pun telah dibuat terperangah dengan prinsip ketidak pastian
yang diketemukan oleh Werner Heisenbreg. Menurut Heisenbreg, kita tidak
bisa mengukur keadaan sebuah sistem secara eksak. Oleh karena itu,
kitapun tidak bisa menduga dengan eksak keadaan suatu sistem yang sama
di masa yang akan datang.
Dengan relatifitas Einstein misalnya, Popper begitu yakin atas sifat
tentative semua pengetahuan manusia. Di lain pihak ia merasa ragu dengan
perkembangan teori-teori social semacam teori sejarah dari Marx,
psikoanalisa Frued dan psikologi individual Alfread Adler. Daya pesona
teori tersebut memang luar biasa dan mampu membius orang untuk
membenarkannya. Dari kenyataan itulah, maka Popper melancarkan kritik
terhadap metode ilmiah tradisional sebagai berikut: Pertama, prinsip
verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum
umum. Kedua, berdasarkan prinsip verifikasi, maka metafisika tidak
bermakna. Padahal dalam sejarah dapat disaksikan bahwa seringkali ilmu
pengetahuan lahir justru dari pandangan-pandangan metafisis atau mistis
tentang dunia. Ketiga, untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ucapan
atau teori, harus dimengerti lebih dahulu ucapan atau teori itu.
Semua kriteria itu harus diterapkan secara deduktif agar dapat
diperoleh pengetahuan yang objektif. Bagi Popper, mencari objektifitas
ilmu berarti membentuk kriteria rasional untuk memperoleh pengetahuan
dan memahami pertumbuhannya. Dengan prinsip valsifikasi diatas pula,
kritertia pembeda antara ilmu dan non ilmu dapat ditentukan. Dalam hal
ini, pernyataan metafisis memang tidak ilmiah, tetapi bukan tanpa makna.
Pernyataan metafisis dapat bermakna, walaupun baru menjadi ilmiah
setelah menjalani proses ujian secara intersubjektif.
Dengan demikian, teori-teori apapun bisa jatuh dan salah. Tak ada
satupun pengetahuan yang bersifat mutlak. Teori diuraikan sebagai dugaan
atau tebakan spekulatif dan coba-coba, yang diciptakan secara bebas
oleh intelek manusia dalam usaha mengatasi problema-problema yang
dijumpai teori-teori terdahulu, dan untuk memberikan keterangan yang
cocok tentang beberapa aspek dunia atau alam semesta. Teori-teori
spekulatif akan diajukan dan diuji keras tanpa belas kasihan oleh
observasi dan experimen. Teori-teori yang gagal tidak tahan uji oleh
observasi dan exsperimen, akan dibuang dan diganti dengan dugaan-dugaan
spekulatif lain dan seterusnya. Ilmu berkembang maju melalui percobaan
dan kesalahan, melalui dugaan dan penolakan. Hanya teori yang paling
cocok yang bertahan. Selagi ia tidak pernah dapat dikatakan sah sebagai
teori yang benar, ia dengan penuh harapan dapat dikatakan sebagai
terbaik di antara yang bisa diperoleh dan bahwa ia lebih daripada yang
sebelumnya.
Pandangan falsifikasi, bahwa beberapa teori dapat ditunjukan sebagai
salah dengan meminta bantuan pada hasil observasi dan eksperimen.
Kalaupun ada asumsi keterangan-observasi yang benar dapat kita peroleh
dengan satu atau lain cara, maka tidak pernah akan mungkin mencapai
hukum-hukum dan teori-teori universal dengan deduksi-deduksi logis. Ada
satu syarat fundamental kalau suatu hipotesa atau system hipotesa mau
diakui memiliki status sebagai hukum atau teori ilmiah. Apabila hipotesa
tersebut akan menjadi bagian dari ilmu, maka suatu hipotesa akan harus
falsifiable. Suatu hipotesa falsifiable apabila terdapat suatu
keterangan observasi atau suatu perangkat keterangan-observasi yang
tidak konsisten dengannya, yakni apabila dinyatakan sebagai benar maka
ia akan memfalsifikasi hipotesa itu.
Falsifikasi menuntut bahwa hipotesa-hipotesa ilmiah harus
falsifiabel. Dalam hal ini bersikap mendesak, karena hanya dengan
mengesampingkan segala perangkat keterangan-observasi logis, suatu hukum
atau teori barulah informative. Apabila suatu pertanyaan tidak
falsifiable, maka dunia dapat memiliki apapun, dapat bertindak
bagaimanapun, tanpa bertentangan dengan pernyataan itu. Akan tetapi kaum
falsifikasionis mempertahankan bahwa beberapa teori, yang mungkin
secara dangkal nampaknya memiliki ciri-ciri teori yang ilmiah, dalam
kenyataan hanya berlagak sebagai teori ilmiah, karena mereka tidak
falsifiabel dan harus ditentang. Popper pernah mengklaim bahwa beberapa
versi, sedikit-dikitnya teori marx tentang sejarah, psikoanalisa Freud
dan psikologi Alder, dihinggapi kesalahan ini.
Suatu hukum atau teori ilmiah yang baik adalah falsifiable justru
karena ia mengemukakan klaim-klaim tertentu tentang dunia, karena dari
situlah timbul ungkapan bahwa makin falsifiable suatu teori makin
baiklah teori itu, dalam pengertian yang longgar. Makin banyak satu
teori mengemukakan klaimnya, makin banyak kesempatan potensial untuk
menunjukkan bahwa dalam kenyataan dunia ini tidak berprilaku sebagaimana
ditetapkan oleh teori. Teori yang sangat baik adalah teori yang
mengemukakan klaim yang sangat luas jangkauannya tentang dunia, dan yang
konsekuensinya paling tinggi falsifiabilitasnya, dan dapat bertahan
teradap falsifikasi jika diuji.
Teori-teori yang sangat tinggi fasifiablitasnya adalah lebih baik
dari pada yang rendah falsifiabilitasnya, asalkan belum pernah
difalsifikasi. Kualifikasi ini penting bagi kaum falsifikasionis.
Teori-teori yang pernah difalsifikasi harus ditolak dan tidak mengenal
ampun. Kegiatan ilmu mengandung usul hipotesa-hipotesa yang tinggi
falsifiabilitasnya diikuti dengan usaha-usaha yang matang dan tekun
untuk memfalsifikasinya.
Tuntutan bahwa teori harus tinggi fasifiabilitasnya mempunyai
konsekuensi yang menarik bahwa teori harus dinyatakan dnegan jelas dan
cermat. Apabila suatu teori diajukan sedemikian samar sehingga tidak
jelas apa sebenarnya yang ingin dinyatakan, maka bilamana diuji dengan
observasi atu eksperimen lain ia dapat di interpretasikan sedemikian
rupa sehingga selalu konsisten dengan hasil pengujian. Situasi yang
serupa terdapat dalam hubungan dengan ketelitian. Makin teliti suatu
teori dirumuskan, semakin ia menjadi falsifiable.
Pendekatan falsifikasi dikembangkan oleh Popper yang tidak puas
dengan pendekatan induktif. Menurut Popper, tujuan dari suatu penelitian
ilmiah adalah untuk membuktikan kesalahan (falsify) hipotesa, bukannya
untuk membuktikan kebenaran hipotesa tersebut. Oleh karena itulah
pendekatan ini dinamakan pendekatan falsifikasionisme. Proses ilmu
pengetahuan berawal dari observasi yang berbenturan dengan teori yang
ada atau prakonsepsi. Jika masalah ini terjadi maka kita dihadapkan
kepada masalah ilmu pengetahuan, teori kemudian diajukan untuk
memecahkan masalah dan hipotesa diuji secara empiris yang tujuannya
menolak hipotesa. Jika peramalan teori itu disalahkan (falsifi), maka
teori tersebut ditolak. Teori yang tahan uji dari falsifikasi dikatakan
bahwa teori tersebut kuat dan dapat diterima sementara sebagai teori
yang benar. Menurut falsifikasionis ilmu berkembang secara pendugaan dan
penolakan (conjencture and refutation) atau secara trial and error,
tujuan ilmu adalah memecahkan masalah dan pemecahan masalah tadi
diwujudkan dalam teori yang mungkin akan disalahkan secara tes empiris.
Teori yang bertahan dan tidak dapat disalahkan akan diterima secara
tentatif untuk memecahkan masalah. Dengan kata lain, teori menurut
pendekatan falsifikasi adalah hipotesa yang belum dibuktikan
kesalahannya. Teori bukanlah sesuatu yang benar atau faktual tetapi
sesuatu yang belum terbukti salah.